Rabu, 19 Juni 2013

Surat An-Nas

سورة الناس
بسم الله الرحمن الرحيم
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ (1) مَلِكِ النَّاسِ (2) إِلَهِ النَّاسِ (3) مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ (4) الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ (5) مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ (6)

Surat An-Nas
Surat ke- 114
Madaniyyah

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang
Katakanlah,” Aku berlindung kepada Tuhannya manusia (1) Raja manusia (2) Sembahan manusia (3) dari kejahatan (bisikan) setan yang bersembunyi (4) yang membisikan (kejahatan) ke dalam dada manusia (5) dari (golongan) jin dan manusia (6)

           
Tafsir Mufradat

            Secara bahasa, kata الْوَسْوَاسِ (al-waswas) bermakna setan yang membisikan, kata ini merupakan pecahan dari kalimat الوسوسة (al-waswasah) yang berarti ucapan yang tersembunyi atau diam-diam.[1]Al-Maraghi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan al-waswas adalah (sesuatu) yang membisikan kepada jiwa dengan ucapan jelek.[2]Adapun Wahbah Zuhaili, di dalam tafsirnya beliau menjelaskan, yang dimaksud dengan kata al-waswas yaitu lintasan-lintasan hati yang jelek lagi buruk yang dibisikan kepada jiwa-jiwa.[3]
            Sedangkan kata الْخَنَّاسِ secara makna leksikal berarti “setan”. Senada dengan hal ini, ar-Raghib al-Ashfahani mengatakan, al-khannas ialah setan yang digenggam (baca: dibelenggu) apabila Allah Ta’ala disebut.[4] Kata al-khannas juga bermakna kembali tertutup, tersembunyi, dan terakhir.[5] Wahbah Zuhaili menjelaskan lebih lanjut,”al-khannas ialah lamban dari berdzikir kepada Allah.”
Relevansi interpretasi dari kedua kata ini yaitu  الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ (al-waswasi al-khannas) adalah bisikan dari setan (bangsa) jin dan manusia yang tersembunyi dan tertutup, karena setan itu akan menutup dan melambankan hati setiap kali akan mengingat Allah.[6]
Tafsir wal Bayan

            Ibnu Katsir di dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat 1-3 menunjukan tiga sifat Rabb Azza wa Jalla yang meliputi sifat Rububiyyah, Mulkiyyah, dan Ilahiyyah. Maka oleh karena itu, Allah swt memerintahkan terhadap orang yang meminta perlindungan (al-Musta’idz) untuk berlindung dengan ketiga sifat ini, dengan demikian setan pun akan dapat ditaklukan. Karena sejatinya, tidak ada seorangpun dari anak keturunan Adam kecuali mereka memiliki kawan (Baca: setan) yang selalu menghiasi hati mereka untuk melakukan perbuatan keji dan kerusakan.[7]Rasulullah saw bersabda:
مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا قَدْ وُكِل بِهِ قَرِينَةٌ". قَالُوا: وَأَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: "نَعَمْ، إِلَّا أَنَّ اللَّهَ أَعَانَنِي عَلَيْهِ، فَأَسْلَمَ، فَلَا يَأْمُرُنِي إِلَّا بِخَيْرٍ"
“ Tidak ada seorang pun diantara kalian kecuali sungguh telah diwakili (ditemani) oleh seorang kawan     .” mereka (para sahabat) bertanya,” Apakah engkau juga wahai Rasulullah?,” Beliau  menjawab,” Ya, akan tetapi Allah telah menolongku, maka dia pun masuk Islam, lalu tidak menyuruhku kecuali kepada kebaikan.”[8]Al-Qadli berkomentar,” ketahuilah, bahwa para ulama sepakat terhadap kema’suman (keterjagaan) Nabi saw dari setan, baik dalam jasadnya, pikirannya, dan ucapannya.[9]
Allah swt mendahulukan sifat Rububiyyah, karena sifat ini merupakan nikmat-Nya yang pertamakali diberikan kepada hamba-Nya, setelah itu Dia swt memuji diri-Nya dengan sifat Mulkiyyah, karena seorang hamba akan mengetahui kekuasaan-Nya setelah dia berakal dan berfikir, kemudian barulah disebut sifat Ilahiyyah, karena seseorang setelah mengetahui dan menggunakan akalnya, maka dia akan tahu bahwa Allah swt lah yang wajib untuk ditaati, dimuliakan, dan diibadahi.[10]Sedangkan Wahbah Zuhaili mengatakan bahwa didahulukannya sifat Rububiyyah karena untuk merelevankan dengan isti’adzah. Maka sifat Rabubiyyah itu mencakup pada nikmat perlindungan, penjagaan, dan pemeliharaan, setelah itu disebutkan sifat Mulkiyyah, karena seorang musta’idz tidak akan mendapatkan pertolongan dan bantuan kecuali kepada Rajanya, yang terakhir baru disebutkan sifat Ilahiyyah, untuk menjelaskan bahwa Dialah yang berhak diibadahi, bukan kepada yang lainnya.
Lebih lanjut lagi Wahbah Zuhaili menjelaskan, alasan pengulangan lafadz “An-Nas” adalah penambahan untuk menjelaskan, menginformasikan, dan mengagungkan, dikarenakan kemuliaan manusia dibandingkan dengan makhluk Allah yang lainnya”. Sedangkan firman-Nya «ربّ الناس» yaitu disamping Allah sebagai Rabbnya manusia, juga sebagai Rabb seluruh makhluk-Nya. Lalu kenapa lafadz an-nas dikhususkan dalam ayat ini dalam penyebutannya? Alasannya, pertama untuk memuliakan manusia dan yang kedua, karena isti’adzah ditujukan untuk manusia.
            Kemudian yang dimaksud dengan min syarril waswasi al-khannas, adakalanya bisikan itu datangnya dari bangsa jin dan adakalanya pula dari bangsa manusia, sebagaimana firman Allah swt:
وَكَذلِكَ جَعَلْنا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَياطِينَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ، يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُوراً [الأنعام 6/ 112]
“ Dan demikianlah untuk setiap nabi Kami menjadikan musuh yang terdiri dari setan-setan manusia dan jin, sebagaimana mereka membisikan kepada sebagian yang lain perkataan yang indah sebagai tipuan.” (Q.S. Al-An’am[6]: 112).
           
Tafsir al-Ijmali

            Buya Hamka dalam tafsir al-Azharnya mengemukakan pendapatnya ketika menafsirkan surat ini, sebagai berikut:
“ Ditengah-tengah gelombang kehidupan manusia yang banyak itu, dengan berbagai macam keinginan, kelakuan, cita-cita, lingkungan dan pendidikan, terseliplah kita, saya, dan saudara, sebagai pribadi. Menyisih dari sesama manusia tidak bisa, dan bergaul terus dengan mereka bukan tak ada pula akibatnya, akibat yang baik ataupun yang buruk. Manusia bisa menguntungkan kita dan bisa membahayakan kita. (lihat Tafsir al-Azhar, karya Buya Hamka).
            Aristoteles (384-322 SM), seorang ahli pikir yunani menyatakan dalam ajarannya bahwa manusia adalah ZOON POLITICION, artinya pada dasarnya manusia adalah makhluk yang ingin selalu bergaul dan berkumpul dengan manusia, jadi makhluk yang bermasyarakat. Dari sifat suka bergaul dan bermasyarakat itulah manusia dikenal sebagai makhluk sosial. (lihat: Blog dtiawarnet [dengan sedikit perubahan])
            Sebagaimana yang dikatakan oleh Buya Hamka, bergaul dengan manusia bukan tidak ada resikonya, namun manusiapun menurut Aristoteles sebagai makhluk yang memiliki kecenderungan untuk bergaul dan berkumpul, tidak dapat memisahkan diri dari kehidupan sosial. Hal ini merupakan fitrah manusia sebagai makhluk yang terlahir untuk bersosial dan bekerja sama. Manusia tidak dapat bertahan hidup seorang diri tanpa bantuan orang lain, hal ini merepresentasikan kelemahan manusia sebagai makhluk-Nya (Lihat: Q.S. An-Nisa [4]: 28). Kelemahannya itu mencakup dalam segala aspek, dari aspek keilmuan, misalnya, sepintar-pintar dan secerdas-cerdasnya Ulama –rahimahumullah- atau pun para cendekiawan, tetap saja mereka memiliki spesifikasi terhadap ilmu yang dimilikinya, meskipun ilmu mereka enslikopedis. Dari aspek politik, mereka tidak dapat membangun sebuah Negara oleh individu-individu secara independen, pasti mereka membutuhkan kepada yang lainnya. Seorang pemimpin pasti memerlukan kepada orang yang mau dipimpin olehnya, begitupun sebalinya. Dari aspek ekonomi, adanya pabrik, toko, dan warung-warung kecil, ini menunjukan adanya saling keterikatan dan keterkaitan satu sama lainnya. Dari aspek-aspek ini, manusia saling membutuhkan satu sama lainya dan saling melengkapi kekurangan-kekuranganya. Maka mustahil bagi manusia untuk tidak berinteraksi dan berkomunikasi kepada sesama manusia.
            Pada awalnya manusia baik-baik saja, tak memiliki maksud buruk dan tak terbetik sedikitpun untuk berbuat buruk. Namun seiring berjalannya waktu, dari berbagai interaksi dan komunikasi, timbulah rasa tidak senang melihat mitra kerjanya sukses, tidak senang melihat orang lebih pintar darinya, tidak senang orang lebih populer darinya, tidak senang orang yang dicintainya bersamaan dengan orang lain, maka timbulah konflik. Hal-hal yang sifatnya “sepele” bisa menjadi tidak “sepele”, ini terjadi karena memang ada intervensi dari setan dalam kehidupan manusia.
Rasulullah saw pada suatu malam ketika pernah dikunjungi oleh istrinya yang bernama Shafiyyah binti Huyay, yang pada saat itu Nabi saw sedang I’tikaf, ketika Nabi saw hendak mengantarkan Shafiyyah pulang kerumahnya, tiba-tiba lewatlah dua orang Anshar dengan tergesa-gesa sambil melihat Nabi saw bersama Shafiyyah, lalu Nabi saw memanggil kedua orang Anshar tersebut sambil berkata,” Pelan-pelan lah, sesungguhnya dia adalah istriku, Shafiyyah binti Huyay.” Maka mereka menjawab,” Subahanallah ya Rasulullah saw, (kami tidak mungkin bersangka yang tidak-tidak, pen).” Lalu Nabi saw bersabda:
 إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنَ ابْنِ آدَمَ مَجْرَى الدَّمِ، وَإِنِّي خَشِيتُ أَنْ يَقْذِفَ فِي قُلُوبِكُمَا شَيْئًا، أَوْ قَالَ: شَرًّا .
“ Sesungguhnya setan itu mengalir dari tubuh manusia seperti aliran darah, dan aku khawatir sesuatu masuk kedalam hati kalian berdua.” Dalam riwayat lain beliau berkata,” Kejelekan (masuk kedalam hati kalian).”[11]
“Dia itu masuk kedalam dada manusia secara halus sekali. Dia menumpang dalam aliran darah, dan darah berpusat ke jantung, dan jantung terletak dalam dada. Maka dengan tidak disadari bisikan yang dimasukan melalui jantung yang dibalik benteng dada itu, dengan tidak disadari terpengaruhlah oleh bisik itu. Sedianya kita akan maju; namun karena mendengar bisikan dalam dada itu, kita pun mundur.” Demikianlah kata Hamka. Lebih lanjut beliau menjelaskan lagi dengan mengutip pendapat Syaikh Muhammad Abduh,” Yang membisik-bisikan (was-was) ke dalam hati manusia itu adalah dua macam. Pertama adalah yang disebut jin itu, yaitu makhluk yang tak nambak oleh mata dan tidak diketahuai mana orangnya tetapi terasa bagaimana dia memasukan pengaruhnya ke dalam hati, membisikan, merayukan. Dan semacam lagi ialah perayu yang kasar, yaitu manusia-manusia yang mengajak dan menganjurkan kepada jalan yang salah.” Demikianlah setan yang akan selalu setia menemani dan mendampingi manusia disetiap gerak-geriknya. Semua itu tak mampu kita hadapi tanpa meminta bantuan dan pertolongan. Dan yang akan dipinta pertolongan itu adalah Yang Maha Mengurusi makhluk-Nya, Yang Menguasai Makhluk-Nya, dan yang paling berhak untuk diibadahi.
Maka dari itu, imam al-Ghazali berkata dalam kitabnya ihya ‘ulumuddin -sebagaimana yang dikutip Hamka-,” Apabila engkau membaca a’udzu billahi minasy-syaithanir-rajim, hendaklah engkau ingat bahwa musuh terbesarmu itu (syaitan), selalu menintipmu, dan jika engkau lengah niscaya dipalingkannya hatimu daripada ingat akan Allah.” Hamka menambahkan bahwa bila kita berlindung kepada Allah swt maka tinggalkan hal-hal yang disukai oleh setan, bukan hanya semata-mata diucapkan dimulut. Karena seorang yang sedang diintai oleh binatang buas tidak akan selamat bila hanya mengucapkan “tolong… tolong..” tanpa kemudian beranjak pergi jauh dari tempat itu.
Konklusi dari tafsir ini, hendaklah memperbanyak isti’adzah kepada Allah swt agar terhindar dari pengaruh-pengaruh jahat yang dibisikan kepada manusia, agar diri ini selalu ada dalam fitrahnya. Surat ini mengajarkan dan menganjurkan untuk selalu beristi’adzah, karena seringkali kita tidak tahu mana bisikan setan dan mana bisikan Tuhan, serta secara implisit menyuruh kita untuk memperhatikan teman sepergaulan dan kawan sepermainan. Maka dengan surat an-Nas ini, islam mengajarkan konsep preventif agar tidak terjerumus dalam jurang kebinasaan. Wallahu A’lam.               


[1] Lihat Tafsir Shifatu at-Tafasir. Tafsir Surat An-Nas. Maktabah Syamilah.
[2] Lihat Tafsir al-Maraghi. Tafsir Surat An-Nas, Maktabah Syamilah.
[3] Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir. Tafsir Surat An-Nas Maktabah Syamilah.
[4] Ar-Raghib al-Ashfahani, Mu’jam Mfradaati al-Fadzi al-Qur’an. Darul Kutub Ilmiyyah: Beirut. Hal. 179.
[5] Lihat Tafsir Shifatu at-Tafasir. Tafsir Surat An-Nas. Maktabah Syamilah.
[6] Qur’an al-Karim Tafsir wal Bayan. Daru ar-Rusyad.
[7] Ibnu Katsir, Tafsiru al-Qur’ani al-Adzim. Beirut: Mua’tsasatu al-Kutubi ats-Tsaqafiah. Jilid IV. Q.S. An-Nas. Hal. 749
[8] H.R. Muslim, Kitabu as-Sifati al-Qiyamah wal Jannah wal Nar bab Tahriisyi as-Syaithan wa Ba’tsuhu saraaya li Fitnatin. No. 2814. Dalam Syarahnya, Imam Nawawi menjelaskan berkenaan dengan riwayat ini, bahwa terdapat dua riwayat dengan redaksi yang berbeda pada kalimat أَسْلَمَ, ada yang dibaca aslamu(dirafa’), ada juga yang dibaca aslama (di fathah). Jika di baca rafa’ maknanya adalah أَسْلَمُ أَنَا مِنْ شَرِّهِ وَفِتْنَتِهِ (Aslamu ana min syarrihi wa fitnatihi) “Aku akan menyelamatkan dari kejelekan dan dari fitnahnya”, namun bila dibaca fathah, maknanya adalah إِنَّ الْقَرِينَ أَسْلَمَ مِنَ الاسلام وصار مؤمنا لايأمرنى إِلَّا بِخَيْرٍ (Inna al-qariina aslama min al-islam wa shaara mu’minan laa ya’muruuni illa bi khairin) “Sesungguhnya kawannya itu telah masuk islam dan dia menjadi mu’min yang tidak akan menyuruhku kecuali kepada kebaikan”. Berkenaan dengan dua riwayat ini, para ulama berselisih pendapat. Imam al-Khathabi memilih riwayat yang dibaca dengan rafa’ dan dia mempertahankan argumennya, berbeda dengan al-Qadli al-‘Iyadl, dia lebih memilih riwayat yang dibaca dengan fathah.
[9] Syarah an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, Kitabu as-Sifati al-Qiyamah wal Jannah wal Nar bab Tahriisyi as-Syaithan wa Ba’tsuhu saraaya li Fitnatin. No. 2814. Maktabah Syaimalah.
[10] Lihat Tafsir al-Maraghi. Tafsir Surat An-Nas, Maktabah Syamilah
[11] Lihat Shahih Muslim, Kitabu al-Adab Babu Bayani Annahu Yastahibbu liman Ra’a Khaaliyaa bil Mar’ati wa Kaanaat Zaujatahaa aw Mahruumaan Lahu  an Yaquula Hadzihi Fulaanatun li Yadfa’ Dzanna as-Suu’I bihi. Hadits no. 2174 dan lihat juga,Shahih Bukhari, Kitabu al-I’tikaf Babu Ziyaarati al-Mar’ati Zaujaha fi I’tikaafiha, hadits no. 2038. Dengan lafadz yang berbeda pada kalimat “Quluubikumaa”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar