Jumat, 11 November 2011

Mengapa Harus Mengkafirkan ?




            Ironis sekali jika kita melihat agama islam dewasa ini, mulai dari pandangan yang negatif, radikalisme, serta terorisme ditujukan semuanya kepada agama Islam. Padahal islam sendiri tidak seperti itu, islam adalah agama rahmatan lil a'lamin, artinya islam adalah agama yang akan membawa perdamaian, kesejahteraan, dan ketenteraman. Kemudian pertanyaan timbul dari hati kita, apakah islam seperti ini? Dan siapakah yang salah, apakah agama islam ataukah kita yang mengaku islam tapi tidak mau mempalajari islam yang sebenarnya?
            Bermunculannya paham-paham sesat di Indonesia, merupakan problematika yang masih belum terselesaikan, dimulai dari orang yang mengaku dirinya sebagai Nabi (baca: Nabi palsu) sampai datang aliran yang mengkafirkan para sahabat serta mengagungkan Ali r.a sebagai orang yang dianggap ma'sum, bahkan yang lebih parah lagi adalah orang yang mengkafirkan setiap orang yang tidak masuk kepada golongannya/ kelompoknya serta menghalalkan darah dan hartanya, lebih ekstrim lagi adalah boleh membunuh kedua orang tuanya disebabkan konsekuensi dari ketidak ikut sertaan kepada golongan/ kelompoknya.
            Berangkat dari kejadian di atas, aliran-aliran yang menyimpang dari Quran dan Sunnah ini sudah ada semenjak masa Khulafaur Rasyidin, khususnya pada masa kepemimpinan khalifah Ali r.a, salah satunya adalah Khowarij. Sebagaimana dijelaskan dalam Majalah Risalah, Kejadian ini bermula ketika peristiwa tahkim pasca peristiwa Shiffin, dimana kelompok 'Ali  merupakan khalifah yang sudah dibai'at oleh kaum muslimin, tidak berhasil menemukan kesepakatan dengan kelompok Mu'awiyah yang juga ingin maju sebagai khalifah, sehingga pecahlah perang di antara kedua kelompok. Ketika kelompok Mu'awiyah terdesak, mereka mengacungkan al-Quran sebagai isyarat untuk berdamai sesuai dengan al-Quran, maka kelompok 'Ali pun menyetujuinya. Dalam proses selanjutnya, disepakati oleh kedua kelompok untuk memproses kesepakatan damai tersebut lewat utusan masing-masing kelompok di Daumatul-Jandal; kelompok Mu'awiyah diwakili sahabat 'Amr bin 'Ash, sementara kelompok 'Ali diwakili sahabat Abu Musa al-Asy'ari. Baik kelompok 'Ali ataupun Mu'awiyah, keduanya disepakati harus kembali pulang ke tempatnya masing-masing, dan menyerahkan persoalan tahkim ini kepada dua orang utusan yang sudah ditentukan.
            Reaksi Khawarij terlihat sangat jelas dalam peristiwa Shiffin ini. Pertama, mereka tiba-tiba mundur begitu saja di saat berkecamuk, ketika al-Quran diacungkan oleh kelompok Mu'awiyah, dan mendesak 'Ali untuk berdamai dengan kelompok Mu'awiyah. Mereka berdalil dengan QS. Ali 'Imran [3]: 23: " Tidaklah kamu memperhatikan orang-orang yang telah diberi bahagian yaitu Al-Kitab (Taurat), mereka diseru kepada kitab Allah supaya kitab itu menetapkan hukum di antara mereka; kemudian sebahagian dari mereka berpaling, dan mereka selalu membelakangi (kebenaran)."  Kedua, ketika proses tahkim selanjutnya ditempuh lewat utusan dari masing-masing kelompok, mereka pun ternyata malah spontan berbalik menolaknya, juga dengan dalil Al-Qur'an: " Menetapkan hukum hanyalah hak Allah."  Kemudian 'Ali menguts ibnu 'Abbas untuk berdialog dengan Khawarij ini dan menjelaskan kebenaran kepada mereka. Saat itu Ibnu 'Abbas menjelaskan bahwa pengambilan keputusan dengan diwakilkan kepada manusia jelas dibenarkan islam, dan tidak bisa dipandang kafir, tentunya sepanjang berdasarkan pada hukum Allah. Dalilnya menurut Ibn 'Abbas, firman Allah Swt dalam QS. An-Nisa [4]: 35: " Dan jika kamu khawatir ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud untuk mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." (lihat: Majalah Risalah tarbitan 2011 bulan Mei. Hal: 16-17)
            Sikap khawarij yang terlalu eksrtim dalam menetapkan status "kafir" kapada 'Ali dan para sahabat, dikarenakan mereka tidak menetapkan dengan hukum Allah, bukan hanya itu saja bahkan mereka menganggap kafir juga kepada orang yang berbuat dosa besar, serta dihalalkan darah dan hartanya.
Bagaimana sikap kita?
            Sikap kita jelas tidak boleh mengkafirkan selama status mereka adalah islam, meskipun keislaman mereka hanya dikatakan islam KTP, dan selama mereka melaksanakan shalat, zakat, haji ke baitullah, ataupun ibadah-ibadah lainnya yang sesuai dengan syari'at islam maka tidak boleh kita merusak kehormatannya.
Sikap ini sama seperti sikap Rasulullah Saw terhadap kaum Munafik yang mereka melafalkan keislamannya dihadapan orang-orang yang beriman, tetapi dibelakang itu mereka justru tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Tapi, Rasulullah Saw tidak membunuh mereka, meskipun ada salah sahabat yang berkomentar, mamun demi menjaga nama baik islam dan tidak menimbulkan fitnah kepada umat islam, Rasulullah memperlakukan mereka sama dengan para sahabatnya.
            Ironis sekali, jika kita selaku umat islam saling mengkafirkan, bukan saling menasihati dalam kebenaran dengan kembali kepada Qur'an Sunnah. Bukankah kita ingin Negara kita menjadi Negara yang berlandaskan syari'at islam, yaitu Negara yang diimpi-impikan oleh umat islam. Justru dengan sikap kita yang ekstrim dan radikal, akan menyebabkan ketakutan bagi umat islam sendiri maupun umat yang diluar islam. Padahal kalaulah kita melaksanakan serta menerapkan islam sesuai dengan Qur'an dan Sunnah, tentu akan menjadi baik bagi kita sendiri maupun kepada non muslim,. Rasulullah Saw saja memperlakukan pamannya dengan baik meskipun statusnya kafir, apalagi kita yang jelas-jelas dilahirkan dari keturunan islam, menyembah Allah, serta ta'at kepada Allah. Apakah pantas kita mengkafirkan saudara kita sendiri???
            Sejarah membuktikan bahwa islam adalah rahmatan lil a'lamin, ini terbukti dari ucapan Thomas v Arnold, ketika menerangkan falsafah kemajuan islam yaitu sebagai berikut:
" Ketika tentara islam tiba di Jordan, orang-orang Kristen Jordan menulis surat yang isinya sebagai berikut:
" Wahai umat islam, kalian lebih kami sayangi daripada orang-orang Romawi, meskipun mereka seagama dengan kami, tetapi kalian berprilaku lebih mulia, lebih adil, dan lebih baik terhadap kami." (Lihat: Sejarah Gerakan Misonaris di Dunia Islam. E-book. Sumber. www. IRIB. ir/ kompilasi pakdeNONO.com). Wallahu a'lam bis Shawab. Saeful js






Tidak ada komentar:

Posting Komentar