Rabu, 12 Oktober 2011

Setiap Jalan Ada Resikonya

بسم الله الرحمن الرحيم

            Jalan kebaikan dan jalan keburukan merupakan dua jalan yang kontradiktif, keduanya tidak bisa bertemu dalam satu wadah. Jika kita memandang bahwa jalan yang kita ambil ini adalah jalan buruk (tidak sesuai fitrah manusia) maka akan ada resiko yang kita ambil. Begitu pun jika kita mengambil jalan kebaikan, akan ada juga resiko yang kita ambil.
           
            Sekelompok orang yang kerjaanya nongkrong, merokok, dan mengobrol (hal-hal yang tidak bermanfaat) bersama sahabatnya yang sejati. Maka dia telah mengambil jalan yang akan menyebabkan dirinya kepada kesengsaraan. Meskipun mereka merasa bebas, senag, serta dapat menghabiskan waktu dengan hura-hura, maka pada hakikatnya dia telah mengambil jalan yang beresikokan kepada kehinaan di dunia maupun di akhirat. Sangat disayangkan sekali melihat para remaja dan para pemuda sekarang ini, lebih suka menghabiskan waktunya hanya untuk berkeliaran di malam hari sambil membawa alat musik (gitar) dan diam di pinggir jalan sambil meneriakan suara (yang kedengarannya seperti merdu) dengan lagu andalannya. Yang lebih parah lagi, para wanita pun ikut serta melayani dan menemani para pemuda di tengah malam yang gelap gulita dengan pakaian yang tidak layak pakai. Sungguh mereka merasakan kebahagiaan yang sesaat tanpa mengetahui resiko yang akan menimpanya. Inilah jalan yang penuh resiko. Benar, mereka senag, gembira, bebas, serta tak ada yang mengatur dalam setiap gerak geriknya. Tapi lihatlah resikonya, survey menyatakan, 62,7% remaja Indonesia pernah melakukan hubungan seks di luar pernikahan alias berzina. Survey juga menunjukan, 97 persen remaja pernah mengakses pornografi, 21 persen pernah aborsi, dan 93 persen berciuman [data ini dilakuakan oleh Komisi Perlindungan anak terhadap 450 remaja di 12 kota besar di Indonesia pada tahun 2010]. (Majalah Da’wah Islamiyyah Ar-Risalah. Hal. 29/  edisi bulan oktober).
Ini disebabkan karena pendidikan agama yang sangat minim, sehingga pemahaman mereka terhadap syari’at islam sungguh dangkal. Mereka tak mau menuntut ilmu agama, padahal KTPnya jelas-jelas beragamakan islam. Inilah resiko orang yang tidak mengikuti fitrahnya sebagi manusia yang diciptakan Oleh Allah Swt.

            Lalu, bagaimana dengan orang yang berada di jalan kebaikan. Apakah ada resikonya? Tentu ada. Sebagai salah satu conto, mari kita lihat salah satu ulama yang berjuang dalam menumpas bid’ah, khurafat, dan perbuatan syirik. Beliau dengan gigihnya melawan meraka serta menyebarkan dakwah dengan mengembalikan ajaran islam kepada Quran Sunnah. Namun, apa yang ia dapat? Beliau mendapatkan cacian, makian, bahkan serangan dengan menfitnah bahwa beliau menafsirkan Al-Quran dengan ra’yunya. Serta mereka menamakan beliau dengan nama WAHABI. Tidak lain beliau adalah Muhammad bin Abdul Wahab yang berjuang bersama raja Su’ud untuk menumpas orang-orang yang mengkultuskan kuburan-kuburan para Nabi, Sahabat, dan orang-orang shaleh, yang diyakini dapat memberikan syafa’at kepada mereka.
Beribu-ribu cacian tak membuat dirinya untuk pensiun dalam mendakwahkan agama islam yang murni, beliau terus-menerus berusaha untuk menyebarkan dakwahnya dengan segala cara. Salah satunya, beliau berdakwah melalui surat menyurat keberbagai Negara, mengarang buku yang berkenaan dengan Tauhid. Sehingga begitu dirasakan manfaatnya oleh generasi selanjutnya yaitu pemuda-pemuda yang ingin meneruskan perjuangan beliau.
            Indonesia pun yang pernah dijajah oleh belanda, kini kita hanya dapat merasakan buahnya saja. Padahal tak sedikit perjuangan para Ulama Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaanya dengan meninggikan Kaliamt Allah Swt. Seperti Pak. Natsir, Buya Hamka, A. Hasan, Agus Salim, HOS. Cokroaminoto dan yang lainnya, begitu besar jasa-jasa mereka dalam memberikan sumbangsih kepada Negara ini. Padahal resiko yang mereka ambil sangat berbahaya. Namun, hasilnya kita dapatkan juga dan mereka pun ikhlas dalam memperjuangkan Negara ini untuk tidak dijajah dengan semena-mena oleh orientalis barat. Inilah resiko yang menghasilkan kemaslahatan bagi dirinya dan orang lain.

            Tinggal sekarang kita memilih, apakah kita akan menjadi orang yang mengahbiskan waktunya dengan hura-hura, banyak bermain, dan bahkan banyak berbicara seperti orang yang berilmu (padahal faktanya tong kosong bunyinya nyaring). Ataukah kita akan menjadi orang yang menghabiskan waktunya dengan membaca buku, banyak berfikir, serta menjalankan syari’at yang telah ditentukan Oleh Allah Swt yang sesuai dengan Quran Sunnah. Tinggal kita yang memilih? Wallahu A’lam. Saeful js

Tidak ada komentar:

Posting Komentar